Sabtu, 30 Agustus 2008

Memaknai Puasa Ramadhan

Sebentar lagi Ramadhanpun tiba. Sebagian kaum muslim menyambutnya sebagai bulan yang penuh magfiroh dan ampunan, namun sebagian lainnya menanggapi dengan pusing kepala mengingat fenomena sosial yang justru terjadi dan terus berulang adalah merangkaknya semua harga kebutuhan hidup. Mengapa bisa terjadi?

Harga barang di Indonesia akan merangkak naik seiring meningkatnya permintaan, begitu mungkin bunyi hukum ekonomi. Sehingga pada akhirnya kita harus mempertanyakan makna puasa kita. Apakah puasa mengajarkan kita menjadi semakin konsumtif? Ataukah puasa kita telah begitu jauh berbeda dari para pendahulu kita? Berikut saya sarikan tausiah yang mungkin bisa kita ambil hikmahnya dari dakwahtuna.com.

Para generasi awal Islam berlomba meraih nilai dari puasa yang dijalankan, mengerahkan segenap kekuatan fisik, dan kekuatan jiwa untuk mengisinya. Siang hari mereka adalah kesungguhan, produktifitas, dan profesionalitas sementara malam hari mereka adalah malam-malam meraih ridlo Allah dengan berbagai amalan, tahajjud, dan tilawatul Qur’an. Sebulan penuh mereka belajar, beribadah, dan berbuat baik. Lisan merekapun turut berpuasa, jauh dari berkata yang tidak ada manfaatnya, apalagi kata-kata kasar, jorok dan dusta. Telinga mereka berpuasa, tidak mendengarkan pernyataan sesat, negatif dan sia-sia, mata mereka berpuasa, tidak melihat yang diharamkan dan perbuatan tidak senonoh. Hati mereka berpuasa, tidak terbersit keinginan untuk melakukan kesalahan atau dosa. Mereka berusaha meneladani Nabi, sebagai orang yang paling dermawan dan paling banyak berbuat baik dalam bulan Ramadhan, laksana angin yang tertiup.
Di kehidupan kita sekarang, seolah semuanya berbalik. Kita berpuasa, kita tahu keutamaan ramadhan, namun tak pernah punya kesadaran untuk melakukan sesuatu mendapatkan kebaikan Ramadhan itu. Sebagian melaksanakan sebagai wujud keterpaksaan. Ramadhan seolah menjadi ajang untuk memperturutkan syahwat perut dengan aneka makanan lezat sehingga semua harga menjadi naik. Siang tidak makan, namun segala makanan dikumpulkan untuk berbuka, dan saat buka tiba, seolah mobil yang lari tanpa kendali, semua dilahap sebisa mungkin. Allah swt. menjadikan Ramadhan sebagai upaya menyemai sikap kasih sayang dan kesabaran namun justru sepertinya selalu kita isi dengan tidur sepanjang hari, tanpa silaturahmi. Lebih ekstrim lagi, puasa sering dijadikan alasan untuk bermalas-malasan dan menghindari diri dari bekerja keras. Begitukah?Perubahan diri mungkinkah terjadi jika puasa kita seperti ini? Perubahan bangsa mungkinkah terjadi jika puasa kita seperti ini? Nasib si papa munginkah berubah, jika puasa kita seperti ini?

Memaknai puasa sebenarnya sederhana, untuk merasakan bagaimana rasanya menjadi orang tak berpunya yang tiap hari selalu bertanya "besok apa makan". Nilai rohani puasa juga sederhana, memasukan otak dan hati kita kembali kejalan Allah, untuk mengingatkan kembali jalan yang lurus. Semoga kita diberi kekuatan untuk melaksanakan puasa ditahun ini dengan kesungguhan, kebersahajaan, dan ketulusan.

Tidak ada komentar: