Senin, 25 Agustus 2008

Lestari Alamku

Ketika suatu saat saya cerita, tidak ada aturan pembuangan sampah di Indonesia, orang Jepang (Profesor saya) itu terkejut. Betapa tidak, disini, untuk membuang sampah, diatur sangat ketat hari dan jenisnya. Hari tertentu hanya boleh membuang sampah jenis tertentu, dan nantinya ada truk sampah yang datang untuk mengambilnya, misalnya sampah dapur dipisah dari kategori lain, botol pet, atau kaleng/botol, atau plastik. Alasannya sederhana, mereka sangat menyadari keterbatasan sumber daya alam yang dimiliki.

Di Indonesia, betapa mudahnya membuang sampah, dimanapun bisa. Mungkin karena kita dihadapkan pada kekayaan alam Indonesia yang melimpah, sehingga seolah-olah tidak ada kekhawatiran akan kehabisan. Padahal permasalahan sampah ini telah mulai memunculkan problem serius di kota besar seperti Bandung dan Jakarta.

Sampah hanya satu dari sekian sudut unik dari kehidupan Jepang yang mencerminkan kesadaran lingkungan yang tinggi. Ketika diwaktu senggang jalan-jalan ke luar rumah, jangan heran hanya ada 3 jenis transportasi yang dominan, mobil, angkutan umum, dan sepeda. Sepeda motor jarang sekali terlihat. Mengapa?

Kalau bertanya mengapa, semua jawabannya tidak jauh dari keberhasilan peran dunia pendidikan yang mampu menanamkan kesadaran akan kelestarian lingkungan pada tiap indvidu. Sejak anak masuk di TK/ yochien, mereka sudah dibiasakan hidup mandiri dan hidup sehat. Ketika masuk ke SD, materi IPS adalah materi tentang kehidupan mereka sehari-hari, menanam bunga, menyeberang jalan, antri, membuang sampah, dan sebagainya. Sampai masuk SMApun, para siswa tidak diperkenankan membawa motor ke sekolah. Siswa hanya boleh membawa motor jika perjalanannya lebih dari 1 jam, dan harus minta ijin dengan sekolah. Tidak heran kalau mereka terbiasa naik sepeda, jalan kaki, atau naik angkutan umum sampai mereka kuliah. Disudut kampus, sepeda berjajar adalah hal biasa. Bayangkan indahnya kebiasaan itu, sementara banyak siswa SMA di Indonesia tidak mau sekolah kalau tidak naik motor, karena kebanyaken uang atau karena gengsi?

Mobil disini memang murah. kemarin saya membaca iklan mobil Honda Oddysey tahun 95 dijual hanya 6o ribu yen (sekitar Rp 5 juta, begitu murahnya) , masih bisa dinegosiasi lagi. Namun demikian, untuk ngurus mobil juga tidak mudah. Kita harus mengecek kelaikannya setiap 3 tahun yang salahsatunya uji emisi. Butuh biaya sekitar ¥100 ribu (Rp 8,5 juta). Kalau tidak lolos, sama sekali tidak boleh digunakan di jalan. Untuk parkir (karena rata-rata nggak punya parkiran sendiri), mereka harus merogoh kocek ¥10-15 ribu (sekitar 800-1.200 ribu) per bulan. Belum untuk pajak. Ya, mobil bukan lagi benda yang membuat orang gengsi tapi membuat mereka pusing. Mereka harus berfikir nilai ekonomis ditengah usaha bersama menjaga kelestarian lingkungan.

Bagaimana di Indonesia? Anda bisa menyimpulkan sendiri. Lingkungan hidup terasa masih terlalu murah bagi semua orang. Karenanya, mari mulai dari diri sendiri menumbuhkan kesadaran itu. Think first before do!

2 komentar:

beforedawn mengatakan...

wah pak, jadi pengen belajar ke jepang...
nanti pas kuliah, saya mau coba lagi monbukagakusho... eh monbukagasho bukan ya??

masih ada semangat yang menggebu2 nih, abis baca postingan bapak, jadi makin pengen nih...

eiya... dari duludulu saya nyariin emailnya bapak... ngga ketemu2 ah..

saya juga punya blog, tapi belum diisi... kapan2 berkunjung ya pak....
konnichiwa

Ulie mengatakan...

Itu menjadi tugas berat seorang guru pak.. untuk menanamkan kesadaran murid2nya tentang lingkungan dari kecil.
Bukan hanya guru biologi atau lingkungan loh... Karena biar bagaimanapun saya rasa guru masih menjadi orang yang dicontoh.

Coba deh... perhatikan.. apakah teman sejawat berkenan untuk mengantungi bungkus permen dalam saku, atau memasukkan plastik bungkus teh botol dan sedotannya yang basah dalam tas? bukan membuangnya di lantai angkutan kota ketika tidak menemukan tempat sampah?
hal sederhana untuk melihat kesadaran temen sebelah tentang lingkungan.... ^-^