Sabtu, 05 November 2011

IPS Terpadu di Banyumas

Menyongsong Penilaian Kinerja Guru, IPS dan IPA wajib dilaksanakan dalam bentuk IPS Terpadu dan IPA Terpadu. Bukan hal yang mudah nampaknya untuk melakukan itu, apalagi berubah dari yang tadinya sudah mapan menjadi ke awal lagi.
IPS Terpadu yang direkomendasikan oleh Direktorat adalah pendekatan Integrated yang didasarkan tema-tema tertentu dan Connected yang mengedepankan satu KD namun dikorelasikan dengan beberapa indikator dari sub mapel IPS lainnya. Tentu derajat yang tertinggi adalah Integrated. Butuh pemikiran lebih untuk menentukan tema yang mampu mengkoneksikan beberapa KD.
Menghadapi perubahan tersebut, MGMP IPS Kabupaten Banyumas telah berusaha untuk menyusun konsep keterpaduan dalam IPS yang nantinya akan dikembangkan lebih lengkap dalam bentuk silabus dan bahan ajar. Pertemuan telah dilaksanakan selama 4 kali, selama Oktober- November 2011 yang diwakili masing-masing disiplin ilmu, Sejarah, Geografi, dan Ekonomi.
Berikut adalah contoh pendekatan integrated dalam IPS Terpadu.

1. Karakter Bangsaku

4.2. Membuat sketsa dan peta wilayah yang menggambarkan obyek geografi

· Membuat peta sebaran kekayaan alam wilayah Indonesia

· Membuat peta persebaran peninggalan Hindu-Budha-Islam di Indonesia untuk mendeskripsikan karakteristik peninggalan tersebut di berbagai daerah

5.1. Mendeskripsikan perkembangan masyarakat, kebudayaan, dan pemerintahan pada masa Hindu Budha serta peninggalan-peninggalannya

· Mengidentifikasi peninggalan Hindu-Budha untuk meningkatkan rasa bangga sebagai Bangsa

5.2. Mendeskripsikan perkembangan masyarakat, kebudayaan, dan pemerintahan pada masa Islam serta peninggalan-peninggalannya

· Mengidentifikasi bentuk-bentuk akulturasi kebudayaan Hindu-Islam

· Mendeskripsikan aplikasi zakat/ shodakoh dalam kehidupan sehari-hari untuk meningkatkan kepedulian sosial sebagai bentuk budaya Islam

3.1. Manusia sebagai makhluk sosial dan ekonomi yang bermoral dalam memenuhi kebutuhan

· Mendeskripsikan penerapan makhluk sosial dan ekonomi yang bermoral dalam kehidupan sehari-hari (etika bisnis terkait jajanan sehat, kasus penipuan, rentenir, pengijon)

· Mendeskripsikan pembiasaan nilai kejujuran bagi konsumen (Kantin kejujuran, pengembalian uang lebih, menemukan uang)

2.2. Mendeskripsikan sosialisasi sebagai proses pembentukan kepribadian

· Mengidentifikasi keberagaman nilai dan norma yang tumbuh di masyarakat Indonesia

· Mendeskripsikan upaya pelestarian nilai dan norma antar generasi


Berikut adalah contoh pendekatan Connected dimana saahstu KD sebagai peran utamanya. KD yang menjadi peran utama adalah KD yang secara keilmuan penting untuk dibahas tersendiri atau KD yang memang tidak mungkin diintegrasikan secara total. Dalam contoh berikut, KD utamanya adalah 5.1.

1. Perkembangan Masyarakat Pada Masa Hindu Budha

  • Membaca dan membuat peta jalur masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Hindu-Budha ke Indonesia.
  • Menunjukkan pada peta daerah yang dipengaruhi dan tidak dipengaruhi unsur Hindu-Budha di Indonesia sampai abad ke 14.

5.1. Mendeskripsikan perkembangan masyarakat, kebudayaan, dan pemerintahan pada masa Hindu Budha serta peninggalan-peninggalannya

  • Mendeskripsikan perkembangan agama dan kebudayaan Hindu Budha di Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara dan persebarannya ke berbagai wilayah di Indonesia.
  • Menyusun kronologi perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di berbagai wilayah di Indonesia.

· Mengaitkan stratifikasi masyarakat berdasar kasta di masa Hindu Budha terhadap proses sosialisasi dalam masyarakat (majikan-buruh)


Memang ada pesimisme terjadi pendangkalan akan materi IPS, namun sebenarnya hal tersebut tidak tepat. Justru IPS terpadu ini ingin menghadirkan materi-materi yang lebih bermakna bagi siswa, lebih kontekstual dengan kehidupan siswa, dan berupaya mengenalkan apa yang terjadi di lingkungan mereka dikaitkan dengan materi pembelajaran IPS.

Read More..

Minggu, 25 September 2011

Untuk Apa??

Kamis lalu, 22 September 2011, pertemuan MGMP cluster 3 menjadi berjalan di luar jalur, manakala rencana sosialisasi IPS terpadu terhalang debat tak berkesudahan antara keilmuan dan aturan formal (model dari pusat). Pro-kontra itu membuat debat kusir yang menyita waktu, yang sebenarnya tidak diinginkan semua peserta yang hadir, karena yang diinginkan adalah ilmu baru IPS secara terpadu atau tematik, menggantikan IPS versi cocktail.

Terkait dengan acara tersebut, ada hal yang akhirnya menjadi renungan untuk diri saya sendiri akan arti eksistensi. Kegiatan-kegiatan MGMP selama ini saya maknai sebagi ajang berbagi atas apa yang dipunyai, bukan ajang untuk mencari pengakuan akan kemampuan pribadi. Ada hal yang lebih penting dari sekedar pengakuan itu, bahwa teman-teman masih menunggu untuk mendapat angin baru tentang bagaimana menjadi inspirator di depan kelas pada tataran praktis.

Menjadi guru adalah sebuah panggilan jiwa. Yang dibutuhkan murid-murid bukanlah ilmu kita yang muluk-muluk (complicated), namun kemampuan menghadirkan kesederhanaan berfikir, kehangatan menyapa, kesediaan menjadi teman, dan kesungguhan untuk memberikan yang terbaik yang dipunyai. Mengajar dengan hati tidak butuh ijasah S1, S2, S3, atau S4, namun butuh kemauan untuk menerapkan ilmu yang dimiliki sesuai kondisi anak didik kita semua. Sekolah di desa dengan fasilitas yang sederhana dan siswa-siswa yang terbatas kemampuannya, perlu disikapi dengan mengconvert ilmu yan tinggi itu menjadi ilmu yang enak untuk dikonsumsi anak. Itu bukan hal yang mudah, bahkan bagi mereka yang sudah lulus S2, S3, S4 sekalipun. Kemampuan atau keterampilan mentransformasikan ilmu itu lebih penting dari yang barusan di sebut.

Siswa kita adalah konsumen kita. Eksistensi terpenting kita adalah manakala siswa kita puas akan layanan kita karena jasa yang diberikan kepada mereka. Bolehlah menjadi narasumber di depan teman-teman guru, bolehlah menjadi juara dalam berbagai lomba dimanapun, namun sebenarnya bila ditarik akar rumputnya, tentu semua berhulu dari jasa siswa-siswa kita yang memaksa kita membaca buku sebelum mengajar. Bolehlah menjadi lulusan S2 dari perguruan tinggi terkemuka, namun itu tidak ada artinya sama sekali bagi pendidikan, manakala keangkuhan diri menganggap diri lebih tinggi, justru menjadi bumerang, bahwa dirinya tidak layak mengajar di depan siswa
yang maaf dicap stupid yang notabene mendominasi sekolah desa. Justru pengalaman menjadi narasumber kita, justru kejuaraan yang pernah kita raih, justru keS2an kita, keilmuan kita, harusnya menjadikan diri lebih dewasa, betapa kita ini masih bodoh dan banyak kekurangan, laksana padi yang makin berisi makin merunduk. Makin bijak di depan siswa dan semua orang.

Biarlah siswa di kelas kita yang menilai profesionalitas kita secara jujur, bukan teman-teman kita yang hanya melihat sepintas atas kesuksesan sesaat. Untuk renungan kita semua, terutama saya.

Read More..