Rabu, 03 September 2008

Sekolah di Indonesia saja!! Pasti Hebat!!

Si dokter Yuris yang baru pulang dari Indonesia itu mengumpat-umpat. Betapa tidak, anak TK, anak saudaranya yang baru berumur 5 tahun (kana?) masak harus masuk les Bahasa Inggris. Harus bisa nulis table atau kata-kata bahasa orang bule lain dengan benar. Ya, sekarang ini, begitu susah menjadi siswa, bahkan sejak TK. Waktu bermain mereka terkekang oleh tumpukan tugas yang harus dipelajari. Akhirnya umpatan itupun menjadi bahan diskusi kami semua, ada apa dengan pendidikan di Indonesia.

Ketika anak-anak TK dan SD di Jepang sini merasakan betapa enaknya menjadi anak karena dunia mereka adalah dunia bermain dan belajar anak Indonesia justru merasakan ketidaknyamanan saat harus masuk sekolah esok hari. Wajar jikalau kita liat sekolah disini, memiliki halaman yang luas, fasilitas bermain yang bisa digunakan kapan saja, dan yang jelas pendekatan belajar yang lebih manusiawi bagi anak. Saya tidak akan melihat jauh yang lain karena memang saya hanya tahu mata pelajaran IPS, maka mari sedikit kita liat apa perbedaannya.

Sebelum berangkat ke sini, saya kost di sebuah rumah, dan si induk semang memiliki cucu kelas 1 SD. Jikalau ada PR maka diapun selalu bertanya. Disatu hari ia menunjukkan banyak PR dari sekolah, saya membaca sepintas. Betapa terkejutnya saya melihat anak kelas 1 SD ditanya "apa yang dimaksud barter?" sebuah pertanyaan konsep yang tentu sangat sulit bagi anak seusia itu. Apa mereka bisa (????) saya pikir, wong membaca saja masih belum lancar. Bila melacak lebih jauh, sungguh anak-anak Indonesia memang dipaksa pintar lebih awal. Kelas 3 ia harus belajar tentang lingkungan alam dan buatan, jenis uang, fungsi uang, bentuk kerjasama, dan sebagainya dengan pertanyaan yang lebih banyak konsep, misalnya "apa yang dimaksud dengan lingkungan?". Anak kelas 4 Sd sudah harus belajar tentang peta, membuat peta, hubungan kondisi fisik dan keragaman sosial, menjelaskan pengertian, azaz, dan tujuan koperasi, dan seterusnya, demikian seterusnya. Saya yakin ulangan merekapun berkutat pada konsep.

Mari kita liat sebagai pembanding di Jepang sini kalau kita liat bukunya, penjelasannya begitu sederhana dengan bahasa anak, tanpa menjelaskan konsep, namun ingin menanamkan konsep. Sebagai contoh saja, anak belajar tentang konsep sejarah, kelas IV SD, mereka hanya disuruh melihat perbedaan kehidupan manusia 100 tahun yang lalu, 30 tahun yang lalu, dan sekarang, dan jawabannya tidak begitu membutuhkan pemikiran yang panjang. Dengan meliat foto misalnya, oh dulu mobilnya seperti itu, sekarang seperti ini, oh dulu lampu di depan rumah seperti itu, sekarang seperti ini, dulu masak pakai kayu, sekarang pakai listrik, dan sebagainya. IPS pada anak SD lebih menekankan pada pelajaran bagaimana mereka hidup di lingkungan sosialnya. Bagaimana mereka mengenali lingkungannya, menanam bunga, dan lain-lain namun tidak ada sedikitpun pertanyaan apa yang dimaksud dengan lingkungan? Mereka belajar bagaimana barang bisa sampai di supermarket, barang apa saja yang dijual, bagaimana cara menatanya. Mereka belajar apa yang dilakukan orang-orang di toko, agar mereka menghargainya. Mereka belajar bagaimana menyeberang jalan, memahami tugas pak polisi, bagaimana membuang sampah, sehingga tumbuh kesadaran pada diri mereka. Jangan heran kalau anak kecil saja sabar ikut antri, tahu aturan, mau nyebrang harus mengangkat tangan kanan, dan sebagainya. Kemandirian yang begitu dini sudah ditanamkan.

Itu hanya sebuah potret kecil beban belajar anak Indonesia yang begitu berat. Cobalah anda liat, pelajaran anak SMP sudah seperti anak S1. Pelajaran anak SMA sudah seperti anak S2. Tidak heran, anak Indonesia jadi pinter-pinter (mungkin??), tapi tidak punya jiwa kemandirian dan kematangan sosial. Tidak ada rasa menghormati sesama, mudah marah hanya karena urusan sepele, dan ....(liat saja lanjutannya di SCTV)

Dari situlah,akhirnya semua berakhir dengan menggerutu. Mengapa? Tidak seorangpun punya kekuasaan untuk merubahnya. Semua berkutat pada sebuah fakta. Saya sendiri sebagai seorang gurupun hanya mampu menunduk malu, melihat pelanggan didepan saya itu sangat tidak puas dengan service teman guruku di sana, tentu termasuk didalamnya servis saya.
Bagi saya sendiri, kuharap ada sedikit celah untuk itu, minimal di kelas saya sendiri, akan kumanusiakan mereka agar merekapun bisa memanusiakan manusia lain. Ah... tugas berat menanti!

2 komentar:

beforedawn mengatakan...

hew...
bener juga sih pak...
rasane rada terlalu membebani.
abis saya juga kan baru ngalami jadi siswa, koq banyak ilmu yang akhirnya mubazir.
saya sih termasuk yang ngga menyesal, soalnya belajar itu menyenangkan... tau atopun menguasai suatu ilmu itu rasanya ada kepuasan tersendiri.
tapi, orang kan beda2, dan yang saya amati, koq kebanyakan teman termasuk yang berkeluh-kesah....

yah... tetap cinta Indonesia lah...
keadaan PASTI membaik... kalo perlu saya yang memperbaiki...

Ulie mengatakan...

Halu lagi pak..
tapi yah, walo pun jarene bapak penanaman konsep bagus, jadi anak belajar menghargai n memahami... tapi jepang juga punya record tentang bunuh diri siswa sekolah yang tinggi lo.... menurut kabar berita alasan utamanya karena "ijiwaru"
bukannya berarti si teman belum bisa menghargai perbedaan teman yang lain?
well... gak tau juga ya..
hem... memang selalu ada lubang di segala sistem yah..

btw, blog pak kus aku masukin dalam daftar temenku ya..
see: http://tringkel.wordpress.com/
sapa tau mo nyumbang resep...
hehe ^-^