Minggu, 25 September 2011

Untuk Apa??

Kamis lalu, 22 September 2011, pertemuan MGMP cluster 3 menjadi berjalan di luar jalur, manakala rencana sosialisasi IPS terpadu terhalang debat tak berkesudahan antara keilmuan dan aturan formal (model dari pusat). Pro-kontra itu membuat debat kusir yang menyita waktu, yang sebenarnya tidak diinginkan semua peserta yang hadir, karena yang diinginkan adalah ilmu baru IPS secara terpadu atau tematik, menggantikan IPS versi cocktail.

Terkait dengan acara tersebut, ada hal yang akhirnya menjadi renungan untuk diri saya sendiri akan arti eksistensi. Kegiatan-kegiatan MGMP selama ini saya maknai sebagi ajang berbagi atas apa yang dipunyai, bukan ajang untuk mencari pengakuan akan kemampuan pribadi. Ada hal yang lebih penting dari sekedar pengakuan itu, bahwa teman-teman masih menunggu untuk mendapat angin baru tentang bagaimana menjadi inspirator di depan kelas pada tataran praktis.

Menjadi guru adalah sebuah panggilan jiwa. Yang dibutuhkan murid-murid bukanlah ilmu kita yang muluk-muluk (complicated), namun kemampuan menghadirkan kesederhanaan berfikir, kehangatan menyapa, kesediaan menjadi teman, dan kesungguhan untuk memberikan yang terbaik yang dipunyai. Mengajar dengan hati tidak butuh ijasah S1, S2, S3, atau S4, namun butuh kemauan untuk menerapkan ilmu yang dimiliki sesuai kondisi anak didik kita semua. Sekolah di desa dengan fasilitas yang sederhana dan siswa-siswa yang terbatas kemampuannya, perlu disikapi dengan mengconvert ilmu yan tinggi itu menjadi ilmu yang enak untuk dikonsumsi anak. Itu bukan hal yang mudah, bahkan bagi mereka yang sudah lulus S2, S3, S4 sekalipun. Kemampuan atau keterampilan mentransformasikan ilmu itu lebih penting dari yang barusan di sebut.

Siswa kita adalah konsumen kita. Eksistensi terpenting kita adalah manakala siswa kita puas akan layanan kita karena jasa yang diberikan kepada mereka. Bolehlah menjadi narasumber di depan teman-teman guru, bolehlah menjadi juara dalam berbagai lomba dimanapun, namun sebenarnya bila ditarik akar rumputnya, tentu semua berhulu dari jasa siswa-siswa kita yang memaksa kita membaca buku sebelum mengajar. Bolehlah menjadi lulusan S2 dari perguruan tinggi terkemuka, namun itu tidak ada artinya sama sekali bagi pendidikan, manakala keangkuhan diri menganggap diri lebih tinggi, justru menjadi bumerang, bahwa dirinya tidak layak mengajar di depan siswa
yang maaf dicap stupid yang notabene mendominasi sekolah desa. Justru pengalaman menjadi narasumber kita, justru kejuaraan yang pernah kita raih, justru keS2an kita, keilmuan kita, harusnya menjadikan diri lebih dewasa, betapa kita ini masih bodoh dan banyak kekurangan, laksana padi yang makin berisi makin merunduk. Makin bijak di depan siswa dan semua orang.

Biarlah siswa di kelas kita yang menilai profesionalitas kita secara jujur, bukan teman-teman kita yang hanya melihat sepintas atas kesuksesan sesaat. Untuk renungan kita semua, terutama saya.

2 komentar:

noor qomariyah mengatakan...

sangat setuju,, bahwa,, guru adalah panggilan jiwa,, guru bisa di gugu dan ditiru,,,

jika kita melihat benang merah ke belakang,, bahwa pemimpin2 kita yg sudah menjadi bapak bangsa ini,, belum tentu mereka dididik oleh guru yg bergelar s2,,s3,,s4,, tetapi mereka dididik oleh,, guru yg berhati luhur yg berakhlak mulia,,,

semoga harapan kami sebagai masyarakat,, semua guru di bangsa ini,, bukan hanya guru itu sebagai profesi,,,, tetapi panggilan jiwa untuk mengabdi,,mencerdaskan Bangsa..dan sebagai Amalan Ibadah,,, (mengharap balasan dari Allah swt)amin,

Kusdar mengatakan...

Terimakasih Bu Noor. Semoga bisa terwujud